Mempelajari Sejarah Gerakan 30 September di Indonesia

tuomas-holopainen.com – Gerakan Tiga Puluh September (Gerakan 30 September, disingkat G30S, juga dikenal dengan singkatan Gestapu untuk Gerakan September Tiga Puluh, Gerakan Tiga Puluh September) adalah sebuah organisasi yang memproklamirkan diri anggota Tentara Nasional Indonesia yang, pada awal jam 1 Oktober 1965, membunuh enam jenderal Angkatan Darat Indonesia dalam kudeta yang gagal, menghasilkan nama Gestok yang tidak resmi tetapi lebih akurat, untuk Gerakan Satu Oktober, atau Gerakan Satu Oktober. Keesokan paginya, organisasi tersebut menyatakan bahwa mereka mengendalikan media dan outlet komunikasi dan telah mengambil Presiden Sukarno di bawah perlindungannya. Pada akhirnya, upaya kudeta itu gagal di Jakarta. Sementara itu, di Jawa Tengah ada upaya untuk menguasai divisi tentara dan beberapa kota. Pada saat pemberontakan ini dipadamkan, dua perwira senior lainnya tewas.

Pada hari-hari dan minggu-minggu G-30-S berikutnya, tentara, kelompok sosial-politik, dan agama menyalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Segera pembersihan massal sedang berlangsung, yang mengakibatkan pemenjaraan dan kematian anggota dan simpatisan Partai Komunis yang sebenarnya atau yang dicurigai. Di bawah Orde Baru, G30S/PKI biasanya disebut G30S/PKI oleh mereka yang ingin mengasosiasikannya dengan PKI, dan istilah ini juga kadang-kadang digunakan oleh pemerintah saat ini.

Penyelidikan dan interogasi versi Suharto tentang peristiwa itu sudah lama terhambat di Indonesia. Sementara G-30-S CIA awalnya percaya bahwa Sukarno mengatur semua itu, beberapa sumber luar menemukan inkonsistensi dan lubang dalam klaim tentara, terutama Benedict Anderson dan Ruth McVey yang menulis Cornell Paper yang menentangnya.

Latar belakang

Sejak akhir 1950-an, posisi Presiden Sukarno bergantung pada keseimbangan kekuatan tentara dan PKI yang berlawanan dan semakin bermusuhan. Ideologinya yang “anti-imperialis” membuat Indonesia semakin bergantung pada Uni Soviet dan, khususnya, China. Pada tahun 1965, pada puncak Perang Dingin, PKI secara luas merambah semua tingkat pemerintahan. Dengan dukungan Sukarno dan angkatan udara, partai memperoleh pengaruh yang meningkat dengan mengorbankan tentara, sehingga memastikan permusuhan tentara. Menjelang akhir tahun 1965, tentara dibagi antara faksi sayap kiri yang bersekutu dengan PKI dan faksi sayap kanan yang sedang didekati oleh Amerika Serikat.

Membutuhkan sekutu Indonesia dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet, Amerika Serikat membina sejumlah hubungan dengan perwira militer melalui pertukaran dan kesepakatan senjata. Ini memupuk perpecahan di jajaran militer, dengan Amerika Serikat dan lainnya mendukung faksi sayap kanan melawan faksi sayap kiri yang condong ke PKI.

Ketika Sukarno menolak bantuan pangan dari USAID, sehingga memperburuk kondisi kelaparan, militer sayap kanan mengadopsi struktur komando regional yang dapat digunakan untuk menyelundupkan komoditas pokok untuk memenangkan loyalitas penduduk pedesaan yang kelaparan. Dalam upaya untuk membatasi kekuatan militer sayap kanan yang meningkat, PKI dan militer sayap kiri membentuk sejumlah tani dan organisasi massa lainnya.

Pemberontakan pada 30 September
Penculikan dan pembunuhan para jenderal

Staf Umum Angkatan Darat pada saat upaya kudeta. Para jenderal yang terbunuh ditampilkan dalam warna abu-abu.

Sekitar pukul 03.15 tanggal 1 Oktober, tujuh detasemen pasukan dengan truk dan bus diberangkatkan oleh Letnan Kolonel Untung Syamsuri (Panglima Tjakrabirawa, pengawal presiden), yang terdiri dari pasukan dari Resimen Tjakrabirawa (Pengawal Presiden), Diponegoro ( Jawa), dan Divisi Brawijaya (Jawa Timur), meninggalkan markas G-30-S di Lanud Halim Perdanakusumah, sebelah selatan Jakarta untuk menculik tujuh jenderal, semuanya anggota Staf Umum Angkatan Darat. Tiga dari korban yang dimaksud, (Menteri/Panglima TNI Letjen Ahmad Yani, Mayjen M. T. Haryono dan Brigjen D.I. Pandjaitan) tewas di rumahnya, sedangkan tiga orang lagi (Mayor Jenderal Soeprapto, Mayjen S. Parman dan Brigjen Sutoyo) diambil hidup-hidup.

Sedangkan target utama mereka, Menkopolhukam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan dengan melompati tembok ke taman kedutaan Irak. Namun ajudan pribadinya, Letnan Satu Pierre Tendean, ditangkap setelah dikira Nasution in the dark. Putri Nasution yang berusia lima tahun, Ade Irma Suryani Nasution, ditembak oleh kelompok penyerang dan meninggal pada 6 Oktober. Selain itu, seorang polisi yang menjaga tetangga Nasution, Brigadir Polisi Karel Sadsuitubun, ditembak mati oleh kelompok penculik. Korban terakhir adalah Albert Naiborhu, keponakan Jenderal Pandjaitan, yang tewas dalam penggerebekan di rumah Jenderal. Para jenderal dan mayat rekan-rekan mereka yang tewas dibawa ke tempat yang dikenal sebagai Lubang Buaya dekat Halim di mana mereka yang masih hidup ditembak. Jenazah semua korbankemudian dibuang ke sumur bekas di dekat pangkalan.

Pengambilalihan di Jakarta

Lokasi-lokasi penting di sekitar Lapangan Merdeka (sekarang Monas) pada 30 September 1965.

Pagi itu, sekitar 2.000 pasukan dari dua divisi berbasis di Jawa (Batalyon 454 dari Divisi Diponegoro dan Batalyon 530 dari Divisi Brawijaya) menduduki tempat yang sekarang menjadi Lapangan Merdeka, taman di sekitar Monumen Nasional di Jakarta Pusat, dan tiga sisi alun-alun, termasuk gedung RRI (Radio Republik Indonesia). Mereka tidak menempati sisi timur alun-alun – lokasi markas besar cadangan strategis angkatan bersenjata (KOSTRAD) yang saat itu dikomandoi Mayjen Suharto. Suatu saat di malam hari, D.N. Aidit, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Marsekal Udara Omar Dani, Pangdam keduanya pergi ke Lanud Halim, yang menunjukkan keterlibatan mereka dalam G-30-S.

Menyusul berita tersebut pada pukul 07.00 WIB, RRI menyiarkan pesan dari Letkol Untung Syamsuri, Komandan Batalyon Pengawal Kehormatan (Angkatan Darat) I (Tentara), Resimen Tjakrabirawa, bahwa Gerakan 30 September, sebuah organisasi internal TNI, telah menguasai lokasi strategis di Jakarta, dengan bantuan unit militer lainnya. Mereka menyatakan bahwa ini adalah untuk mencegah upaya kudeta oleh ‘Dewan Jenderal’ dibantu oleh Badan Intelijen Pusat, berniat untuk menghapus Sukarno pada Hari Angkatan Bersenjata, 5 Oktober. Disebutkan pula bahwa Presiden Sukarno berada di bawah perlindungan G-30-S. Sukarno melakukan perjalanan ke Halim ‘setelah mengetahui bahwa ada pasukan di dekat Istana di sisi utara Lapangan Merdeka’ dan juga mengklaim (kemudian) ‘bahwa ini agar dia bisa berada di dekat pesawat jika dia harus meninggalkan Jakarta’. Pengumuman radio lebih lanjut dari RRI hari itu menyebutkan 45 anggota Gerakan G30S dan menyatakan bahwa semua pangkat tentara di atas Letnan Kolonel akan dihapuskan. Selama di Halim, Presiden bertemu dengan AVM Dani dan para Panglima TNI lainnya untuk merencanakan penggantian Panglima Angkatan Darat yang saat ini kosong.

Berakhirnya gerakan di Jakarta

Pukul 05.30, Suharto, Panglima Kostrad, dibangunkan oleh tetangganya dan diberitahu tentang hilangnya para jenderal dan penembakan di rumah mereka. Dia pergi ke markas Kostrad dan mencoba menghubungi perwira senior lainnya. Ia berhasil menghubungi dan memastikan dukungan Panglima TNI AL dan Polri, namun tidak bisa menghubungi Pangdam. Dia kemudian mengambil alih komando Angkatan Darat dan mengeluarkan perintah untuk membatasi semua pasukan ke barak mereka.

Karena perencanaan yang buruk, para pemimpin kudeta gagal menyediakan perbekalan bagi pasukan di Lapangan Merdeka yang mulai kepanasan dan kehausan. Mereka mendapat kesan bahwa mereka menjaga presiden di istana. Sore harinya, Suharto membujuk kedua batalyon untuk menyerah tanpa perlawanan, pertama batalyon Brawijaya, yang datang ke markas Kostrad, kemudian pasukan Diponegoro, yang mundur ke Halim. Pasukannya memberi ultimatum kepada pasukan Untung di dalam stasiun radio dan mereka juga mundur. Pukul 19.00 Suharto sudah menguasai semua instalasi yang sebelumnya dipegang oleh pasukan Gerakan 30 September. Sekarang bergabung dengan Nasution, pada jam 9 malam ia mengumumkan melalui radio bahwa ia sekarang memimpin Angkatan Darat dan bahwa ia akan menghancurkan kekuatan kontra-revolusioner dan menyelamatkan Sukarno. Dia kemudian mengeluarkan ultimatum lagi, kali ini kepada pasukan di Halim. Sore harinya, Sukarno meninggalkan Halim dan tiba di Bogor, di mana terdapat istana kepresidenan lainnya.

Sebagian besar pasukan pemberontak melarikan diri, dan setelah pertempuran kecil pada dini hari tanggal 2 Oktober, Angkatan Darat menguasai kembali Halim, Aidit terbang ke Yogyakarta dan Dani ke Madiun sebelum tentara tiba.

Baru pada tanggal 4 Oktober mayat ketujuh korban itu ditemukan dari sumur tempat mereka dilemparkan ke Lubang Buaya. Mereka dimakamkan di pemakaman kenegaraan pada 5 Oktober, Hari ABRI, didahului oleh pidato Nasution. Ketujuh Perwira TNI dan Polri tersebut, atas perintah Presiden Sukarno, secara resmi dideklarasikan pada hari yang sama sebagai Pahlawan Revolusi secara anumerta berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965.

Acara di Jawa Tengah
Setelah siaran radio pukul 7 pagi di RRI, pasukan dari Divisi Diponegoro di Jawa Tengah menguasai lima dari tujuh batalyon dan unit lainnya atas nama gerakan 30 September. Wali Kota PKI Solo, Utomo Ramelan, mengeluarkan pernyataan mendukung G-30-S. Pasukan pemberontak di Yogyakarta, dipimpin oleh Mayor Muljono, menculik dan kemudian membunuh Kolonel Katamso dan kepala stafnya Letkol Sugiyono. Namun, begitu berita kegagalan G-30-S di Jakarta diketahui, sebagian besar pengikutnya di Jawa Tengah menyerah. Pada tanggal 5 Oktober, baik Katamso maupun Sugiyono, komandan dan pejabat eksekutif Daerah Militer ke-72 pada saat pembunuhan mereka, juga secara anumerta dinobatkan sebagai Pahlawan Revolusi.